Di antara berbagai tema yang diangkat dalam sebuah film, cerita dengan latar belakang tentang penulis adalah salah satu yang jitu menarik perhatianku. Salah satunya adalah film tentang jurnalis majalah. Kehidupan mereka begitu dinamis dalam kerja tim dan ancaman tenggat waktu.
Memang ada banyak film yang memilih latar belakang ini, baik yang sekadar sebagai bumbu cerita atau memang benar-benar mengangkatnya sebagai konflik utama. Menikmatinya dalam jamuan drama komedi tentu lebih menghibur, ya. Mengingat pekerjaan menulis itu sudah sangat serius.
Kebetulan, aku baru saja menonton film semacam ini. Judulnya Confessions Of A Shopaholic. Dirilis pada 2009. Iya, udah 10 tahun yang lalu 🙈. Film ini diadaptasi dari salah 2 novel dalam seri Shopaholic karya Sophie Kinsella, yaitu:
- The Secret Dreamworld of a Shopaholic (2000) alias Confessions of a Shopaholic (2001)
- Shopaholic Abroad (2001) alias Shopaholic Takes Manhattan (2002)
Di Indonesia, kedua buku ini telah diterbitkan Penerbit Gramedia dengan judul "Pengakuan si Gila Belanja" dan "Si Gila Belanja Merambah Manhattan".
Tulisan ini bukanlah sebuah review film lengkap, ya. Sekadar uraian untuk mengambil beberapa pelajaran dari sebuah cerita. Jadi kadang ada spoiler di sana-sini untuk menjelaskan. Hati-hati!
Cerita Singkat Confessions of Shopaholic
Alette dan Successfull Saving berada di bawah perusahaan yang sama. Diharapkan jika Rebecca berhasil diterima, maka ia akan lebih mudah melompat menuju pekerjaan impiannya di Alette. Wawancara berjalan dengan kikuk karena memang Rebecca sangat buta tentang topik keuangan.
Tak disangka, alamat untuk kedua surat itu tertukar. Esai yang sejatinya untuk Alette, diterima dan dinilai bagus oleh Luke Brandon, editor majalah Succesfull Saving. Ya, seorang gila belanja pun bekerja di majalah keuangan yang berbicara tentang keamanan investasi dan tabungan masa depan!
Pekerjaan pertama yang diberikan bosnya adalah menulis artikel tentang suatu bahasan yang nyatanya Rebecca hanya menyalin dari artikel lain. Begitu ditegur dan diminta menulis ulang, editor malah memergokinya sedang googling. Padahal seharusnya ia menulis sesuai opininya pribadi.
Berikutnya, ia diajak ke konferensi dan diminta menyampaikan pertanyaan yang akhirnya terlontar spontan dan memojokkan pembicara. Sepulangnya, Sang Editor memintanya menuliskan sebuah uraian singkat dan dikirim melalui email jam 3 sore.
Sebuah majalah adalah tempat mencari jawaban. Maka jawaban yang ada di dalamnya haruslah jawaban yang benar. Sekarang pulanglah, dan tulis apa yang benar-benar kau tahu.
Menggunakan sudut pandang sebagai pembelanja, Rebecca menulis tentang keamanan investasi dengan menceritakan pengalamannya berbelanja dan menganalogikan kartu kredit seperti barang tiruan. Menipu. Ternyata, artikel itu berhasil menginspirasi banyak orang!
Apa yang Kupelajari dari Confessions of Shopaholic?
1. Masuki Dunia Baru dengan Tetap Menjadi Diri Sendiri
Hasilnya? Kacau-balau! Artikelku acak-acakan. Sangat menunjukkan ketidakpahaman. Bagian cerita yang Rebecca ditegur karena sekadar menyalin artikel dan ketahuan masih meraba-raba tentang keuangan di halaman Google, itu aku banget! 🙈
Editorku juga memintaku memasukkan opini pribadi dalam tulisanku, dengan gaya bahasaku. Masalahnya, aku tidak paham sama sekali. Bagaimana bisa beropini? Setelah menonton film ini, aku jadi sadar, sebenarnya kita bisa saja memasuki ranah mana pun berbekal yang kita punya.
Lalu, apakah aku juga mengalami lonjakan apresiasi yang tak terduga dari artikel keuangan yang kutulis? Sayangnya, tidak. Setelah 2 bulan bersabar, akhirnya editorku memintaku belajar lebih banyak lagi tentang keuangan dan memutuskan untuk berhenti mempekerjakanku. Hiks.
2. Bukan Topik, Melainkan Penulislah yang Membosankan
Terus terang, pertama kali dan terus berulang kali yang kupikirkan saat menyusun artikel keuangan adalah betapa ini merupakan bahasan yang berat. Belum apa-apa aku sudah jenuh membaca literatur dan tak yakin dapat membuat pembaca tertarik. Bisa jadi, begitu juga pikiranmu tentang artikel keuangan.
Dari film ini, aku jadi tercerahkan bahwa masalah keuangan itu bisa dibahas dengan sangat santai dan ramah dengan kehidupan kita sehari-hari, kok. Yang penting, pintar-pintarnya kita saja mengolah bahasa dan gaya pendekatan.
Dari film ini, aku jadi tercerahkan bahwa masalah keuangan itu bisa dibahas dengan sangat santai dan ramah dengan kehidupan kita sehari-hari, kok. Yang penting, pintar-pintarnya kita saja mengolah bahasa dan gaya pendekatan.
3. Menulis adalah Terapi
Gaya belanja Rebecca bukanlah belanja biasa. Ia sulit menahan diri melihat barang yang terpajang di toko, meskipun tahu itu bukan barang yang penting. Berbelanja merupakan candu dan menjadi filosofi hidup tersendiri bagi Rebecca.
Namun dengan keterpaksaan menulis tentang hidup berhemat dan memikirkan investasi masa depan, dia semakin digiring untuk mengubah gaya hidupnya. Sehingga bisa sesuai dengan status pekerjaannya dan inspirasi yang telah disebarkannya di tengah masyarakat.
4. Menulislah dengan Jujur
Dari sini, apakah aku mulai terpikir untuk kembali mengontak Sang Editor Keuangan dan menjalin kerjasama? Ada sih, terbetik semangat itu. Namun, permintaannya untuk belajar kembali belum sedikit pun aku jalankan. Hihihi ...
Jadi, untuk sementara aku endapkan dulu deh, binar-binar ide ini. Berhubung di hadapan juga sudah menumpuk tugas-tugas lain yang meminta untuk diprioritaskan. Salah satunya adalah pekerjaan yang aku dapatkan berkat pengalamanku di situs keuangan. Memang ada alasan dalam tiap pertemuan, ya?
Itulah sekelumit pelajaran yang kudapat dari film ini. Kalau kamu, pernahkah tulisanmu dimuat dalam sebuah majalah?
Aku suka film ini karena hampir semua wanita can relate dengan ceritanya. Tapi saya pun dulu juga gini, kalap pingin belanja kalau punya uang. Tapi sekarang lebih berfikir, barangnya dibeli karena butuh atau karena ingin? kalau karena ingin Alhamdulillah udah bisa ngeremnya sih. Tapi bedanya aku ga nulis tentang ini di bog kayag Rebecca hahaha
BalasHapusWaah aku belum nonton filemnya. Tapi pelajarannya dekat banget juga dengan kehidupan kita sebagai blogger. Kadang suka ngerasa tulisan tak bernyawa ya krn kita ga punya pengalaman personal dgn apa yg kita tulis.
BalasHapusSalah satu film favorit saya sampai sekarang. Belum bosan juga meskipun sudha menonton beberapa kali
BalasHapusPIlem ini nampol paraaahhhh :D Ya walopun aku bukan shopaholic, tapi aku setuju bgt dgn poin2 Hikmah yg disampaikan Farida di postingan ini :D
BalasHapus--kindly visit my blog bukanbocahbiasa(dot)com--
Bener juga ya pengalaman hidup si Rebecca ini. Sayapun mulai memahami, bahwa menulis tanpa ada bumbu-bumbu itu menyenangkan sekali. Apalagi penulis juga terlibat dalam bahasan yang sedang ditulis tersebut. Mau dong nonton filmnya, apalagi yang ada gila gilaan mengejar diskon dan ternyata barangnya kw, welah gimana tuh ekspresi si Rebecca y?
BalasHapusBelum pernah nonton, penasaran jadinya ingin nonton hehhe. Soalnya saya termasuk shopaholic hhahahah
BalasHapusMenarik juga nih filmnya apalagi tentang penulis ya. Itu jadi ngebayangin ekspresinya lagi etahuan googling. Cari juga ah filmnya, pengen nonton.
BalasHapusAku juga pernah liat fim ini. Lucu, gemesin tapi juga serasa dicubit hahaha. Aku setuju tuh kalau tulisan yang memborikan bukan karea topiknya tapi yang nulisnya ga asik. Kadang aku merasa tulisanku tuh aneh ga enak dibaca. DIpikir-pikir karena emang akunya ga menguasai dan kurang riset, jadinya gitu, hambar dan bosenin. Ga lagi-lagi deh :D
BalasHapusKayaknya film ini keren banget Kak.
BalasHapusTerima kasih rekomendasinya.
Cus nonton.
Bener bnget menulis adalah terapi, awalnya akupun begitu kak, dah pernah lihat film ini,,, kadang Kita Juga suka kebablasan besar pasak dr pada tiang
BalasHapusWah, tertarii untuk menjawab pertanyaan terakhir. Belum, dan belum pernah mengirimkan tulisan ke majalah...he3...
BalasHapusMemaksa menulis sesuatu yang kita tidak terlalu paham memang sulit ya, tapi ada kepuasan ketika bisa melakukannya. Dan ada ilmu baru yang didapat..
Aku punya semua novelnya lho seri Sophaholic ini. Sukaaa banget karakter si Becky Bloomwood yang gila belanja ini. Kalo di novelnya sih sampai dia nikah dan punya anak bareng si Luke Brandon yah.
BalasHapusMungkin karena aku penggemar berat novelnya, malah jadi kurang sreg ama filmnya lho, karena bedaaa hehehe. Aku sih merekomendasikan untuk baca novelnya deh
betul. ada bedanya. yang paling keliatan adalah lokasi kotanya :)
HapusTerlepas dari pesan moralnya, aku tertarik karena ada unsur komedinya.aku suka kalo suatu pesan moral disampaikan dengan lebih santai lewat film begini
BalasHapusDari sisi pesan moral dalam filmnya, juga dari profesionalisme terhadap pekerjaan, film ini meskipun sudah lama masih cocok aja sih buat ditonton di tahun 2019 ini. Ya, kan? APalagi sekarang diskon di mana-mana, belanja dibuat gampang. Nah, bagian tulis-menulis nih, nampol banget buat blogger atau penulis konten seperti kita. Harus menguasai topik, menyajikan dengan asyik dan opini kita yg bkin unik. Mantul, Kak.
BalasHapusAku udah nonton film ini dan suka. Tapi kisah kalau jadi jurnalis beneran di majalah ya lebih wow lagi. Hihii
BalasHapusSdh nonton , suka sm endingnya happy ending hehe. Ada buku lain sophi kinsella yg juga udah difilmkan sama2 seru
BalasHapusAku suka baca bukunya, semuanya udah kubaca kayaknya, serem kalau sampai mengalami defisit kayak Rebecca..huaaa
BalasHapusSepertinya saya belum nonton deh, tapi buku dan filmnya udah familiar gitu...
BalasHapusAku kayaknya pernah kirim tulisan ke beberapa majalah remaja dulu jaman sekolah tapi nggak pernah lolos, haha belum rejeki, eh malah ada artikelku yang dibikinkan antologi bareng penulis lainnya waktu jadi finalis lomba blog. Btw, aku tau sih dari dulu film dan buku COS ini, tapi belum sempet nonton hehe..
BalasHapusAku udah baca novelnya plus lihat filmnya. Sudah berkali-kali lihat filmnya tapi nggak pernah bosan. Seru lihat pergulatan Rebecca buat selamat dari hutang-hutangnya. Akhirnya tulisannya dianggap bagus setelah dia menuliskan pengalaman pribadinya dalam urusan mengatur keuangan.
BalasHapusKadang buatku menulis itu merupakan terapi, share mengenai pengalaman dan tentunya kalau bisa disukai lebih menyenangkan sekali. Soalnya cerita program kehamilan yang aku jalankan sampai hari ini masih banyak yang baca.
BalasHapusTulisanmu menginspirasi nih mba. Sebuah novel atau film itu bukan sekadar hiburan saja, tapi banyak pelajaran yang bisa kita ambil di dalamnya yang bisa jadi kita aplikasikan di kehidupan kita
BalasHapusAku udah nonton film ini. Pesan moralnya dapet bangett. Keren.
BalasHapusAku kok rasanya samar2 ingat film itu tapi baru tau kalau ada novelnya mbak :D
BalasHapusJd pengen nyari filmnya :D
Kyknya filmnya ringan tapi lumayan banyak pesannya ya hehe
Filmnya pasti seru nih krn menceritakan penulis yg hobi belanja...btw walaupun harus jujur dan jadi diri sendiri tapi penulis juga harus memahani topik yg akan ditulis
BalasHapusfiom yang rekomended banget nih, banyak pelajaran yang bisa di ambil
BalasHapusbiar mudah untuk berkunjung dan berkomentar di blog sobat, izinkanlah ane untuk mem-follow blog sobat, terimakasih banyak :)
BalasHapus
BalasHapusMembaca tulisan diatas saya jadi ikut terbawa kisah Rebbeca kok yaa!!...
Justru yang menolong rebbeca sebenarnya adalah suatu kesialan karna tertipu membeli sepatu bukan merek asli...
Dan ia jadikan sebuah karya tulisan... 😄😄
Intinya apapun yang kita tulis sebenarnya harus tetap bangga dan bersyukur karena belum tentu ada yang bisa menulis dengan gaya kita..
Beda tangan beda hasil..😄😄