Motorola T190 Foto: siamphone.com |
Era Telepon Genggam Belum Pintar
Hai, Teman-Teman! Kapan kamu mulai memiliki telepon seluler? Kalau saya pribadi, terus terang baru memilikinya saat di awal menikah, yaitu tahun 2004. Itu pun dibelikan oleh Suami untuk memudahkan komunikasi. Hehehe...Telepon genggam pertamaku bermerek Motorola T190. Persis dengan foto di atas, hanya saja ada sedikit bagian yang berwarna abu-abu. Baterainya awet sekali. Seharian dipakai paling cuma berkurang beberapa persen.
Ya iya lah, memang pekerjaannya belum berat, ya. Grafisnya belum berwarna. Fungsinya hanya untuk menelepon dan mengirim SMS. Di dalamnya juga ada beberapa permainan sederhana. Snake adalah permainan favoritku. Hahaha...
Antena pendeknya itu sepertinya aksesori saja, ya? Karena tidak terlalu berfungsi, sih. Itu adalah peninggalan desain zaman sebelumnya yang memang rata-rata telepon selulernya memiliki bentuk setebal batu bata dan berantena panjang seperti TV. Hahaha...
Telepon seluler satu ini benar-benar menyenangkan menurutku. Karena bentuknya yang mungil dan fungsinya yang sederhana. Sangat berguna sekali bagiku. Karena masa itu aku masih kuliah namun memiliki banyak kegiatan di luar kampus. Sehingga terkadang teman kesulitan menghubungiku saat aku tidak sedang di kampus maupun kos, melainkan beredar entah di mana.
Duh, manisnya masa itu. Di mana kita merasa cukup dengan telepon genggam seperti ini. Kalau masih ada barangnya, aku ingin memilikinya lagi sebagai benda kenangan.
Duh, manisnya masa itu. Di mana kita merasa cukup dengan telepon genggam seperti ini. Kalau masih ada barangnya, aku ingin memilikinya lagi sebagai benda kenangan.
Nokia 3310 Foto: amazon.uk |
Di saat yang sama, telepon genggam yang dipakai Suami adalah Nokia 3310. Ini adalah merek telepon seluler sejuta umat di masa itu. Punya Suami warnanya biru. Telepon ini memiliki fungsi yang sama dengan teleponku.
Era Telepon Genggam Mulai Pintar
Nexian Foto: yunan.or.id |
Sebenarnya kami bukan termasuk penggila teknologi yang suka bergonta-ganti gawai sesuai tren yang sedang berjalan. Kami hanya membeli telepon baru karena memang telepon sebelumnya sudah tidak berfungsi. Kalau tidak salah, sekitar tahun 2008 telepon genggamku lebih dulu rusak. Sehingga Suami membeli telepon baru merek Nexian.
Aku lupa tipenya. Seingatku termasuk generasi keduanya Nexian, deh. Tampilannya mirip foto di atas dengan casing berwarna putih. Bersamaan derasnya laju Blackberry masuk ke Indonesia.
Ini adalah gawai pertama kami yang bisa digunakan untuk online secara mobile menggunakan Opera Mini. Memeriksa linimasa dan memperbarui status di media sosial jadi semakin mudah karenanya. Dan mulailah aku mengalami bagaimana telepon genggam menjadi teman setia perjalanan dan pengisi hampir kebanyakan waktu yang kita lalui sehari-hari sebagaimana yang dialami oleh orang-orang.
Ya, sejak internet serta jaringan Blackberry bisa diakses dalam genggaman, maka kita akan mudah mendapati orang-orang yang menunduk asyik dengan gawainya sendiri, sulit terusik dengan keadaan sekitar. Saat inilah jargon "Teknologi yang mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat" mulai terasa.
Ya, sejak internet serta jaringan Blackberry bisa diakses dalam genggaman, maka kita akan mudah mendapati orang-orang yang menunduk asyik dengan gawainya sendiri, sulit terusik dengan keadaan sekitar. Saat inilah jargon "Teknologi yang mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat" mulai terasa.
Era Telepon Genggam Makin Pintar
Galaxy Tab 2 Foto: dokumen pribadi |
HTC Flyer Foto: soyacincau.com |
Dan ketika tiba gilirannya telepon genggam kami rusak secara hampir bersamaan di tahun 2011, Beliau pun memilih membeli gawai yang bisa sekaligus mendukung kerjanya agar tetap bisa dijalankan kapan dan di mana saja. Beliau membelikan Galaxy Tab 2 untukku dan HTC Flyer untuknya. Ini adalah tablet pertama kami.
Alasan lain Beliau memilih tablet adalah karena layarnya yang lebar dapat digunakan sebagai sarana belajar dengan membaca aneka buku elektronik. Apa lagi tablet Beliau dilengkapi dengan pen yang memudahkan berbagai aktivitas.
Rupanya Sang HTC kurang bisa bertahan lama. Bukan karena produk yang buruk, ya. Lebih karena pada waktu itu tempat servis dan suku cadangnya masih sangat jarang. Sementara pen yang sangat dibutuhkan Suami itu mudah rusak akibat pemakaian tidak terkontrol oleh anak-anak.
Jadi, daripada makin pusing menunggu kabar dari pusat servis HTC, Suami memilih membeli tablet baru untuk mendukung kesibukannya. Kali ini Suami memilih Galaxy Note 8 yang lebih mudah didapat pusat pelayanannya.
Jadi, daripada makin pusing menunggu kabar dari pusat servis HTC, Suami memilih membeli tablet baru untuk mendukung kesibukannya. Kali ini Suami memilih Galaxy Note 8 yang lebih mudah didapat pusat pelayanannya.
Vivo Y53 Foto: dokumen pribadi |
Nah, baru-baru ini, gantian tabletku yang ngadat. Masalah utamanya sepertinya pada alat charger baterai yang semakin lemah fungsinya. Sedangkan untuk mendapatkan charger aslinya sudah bisa dibilang tidak mungkin bahkan di pusat servis resminya. Karena memang sepertinya sudah tidak diproduksi lagi. Lha memang produknya sudah so jadul, ya.
Setelah Sang Tablet benar-benar menyerah pada usia, maka aku dibelikan telepon genggam baru sebagai penggantinya. Kali ini aku memilih telepon pintar yang kecil saja. Karena sudah bosan bertahun-tahun merasakan betapa beratnya membawa gawai sebesar talenan ke mana-mana. Hahaha...
Pilihanku yang sederhana saja. Yang penting sudah mendukung 4G, RAM 2GB pun cukup lah untuk mendukung aktivitasku menulis blog. Dilengkapi kualitas kamera yang minimal setara dengan tablet Suami. Akhirnya aku memilih Vivo Y53 yang menurutku hasil jepretan kameranya paling jernih dibandingkan merek lain dengan spesifikasi yang mirip. Gawai inilah yang kini menemaniku. Semoga jodoh kita awet ya, Vivo!
Pengaruh Perkembangan Telepon Genggam di Keluargaku
Gawai tidak hanya setia menemani kami saat berada di rumah. Di tengah perjalanan yang agak jauh atau membutuhkan beberapa hari untuk berbagai urusan pun, tak jarang kami membawanya. Saat berlibur sekali pun? Lha, bagaimana lagi? Karena Suami bekerja di rumah dan anak-anak pun semuanya memilih homeschooling untuk pendidikannya, jadi ya jadwal kami sangat fleksibel. Kalau mau dituruti, everyday can be holiday for us.
Karena menghindari waktu-waktu puncak liburan, maka kami justru biasanya memilih hari aktif kerja jika ingin berlibur. Tak ayal lagi, terkadang kami berlibur sambil membawa berbagai tugas pekerjaan dan sekolah.
Sekolah? Oh iya. Putri Sulungku saat ini mengikuti kelas online sebagai jalan baginya untuk mendapatkan ijazah. Supaya dia bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi nantinya. Jadi, mengerjakan tugas bahkan mengikuti ujian sekolah secara online pernah dijalaninya di tengah waktu berlibur kami.
Makanya, jangan heran ya, kalau kami sangat berbahagia jika bertemu area yang menyediakan layanan WiFi gratis. Juga, setiap mendarat di suatu tempat, kami sering melirik ke kanan dan kiri untuk mencari apakah ada tempat yang menyediakan colokan untuk mengisi baterai. Hehehe...Tempat liburan yang begini nih, yang jadi idaman kami |
Tak heran jika gawai dengan layar sentuh semacam ini menjadi favorit anak-anak begitu mereka mengenalnya. Sebuah tantangan tersendiri bagi para orangtua untuk bijak menyikapi fenomena ini. Memperhatikan konten yang dapat diakses melalui getaran lembut tangan anak serta bagaimana efek paparan gawai pintar ini terhadap kesehatan mereka.
Bagiku, teknologi itu adalah alat untuk mempermudah kinerja kita. Jadi, kalau kehadirannya justru mempersulit kita menuntaskan tugas, maka itu artinya ada yang salah. Jika dengan adanya gawai di rumah membuat beban kita sebagai orangtua jadi semakin berat, berarti ada yang perlu dievaluasi.\
Sejauh ini, aku berusaha menerapkan beberapa hal untuk menjaga agar gawai tetap berfungsi sebagaimana mestinya:
- memperkenalkan fungsi utama gawai sebagai alat yang membantu bekerja dan belajar. Fungsi lain dari gawai, misalnya sebagai sarana hiburan, adalah fungsi tambahan yang tidak harus selalu dihadirkan di tengah keluarga
- membatasi penggunaan gawai bagi anak di bawah usia 2 tahun
- memberikan jatah penggunaan gawai sebagai hiburan anak-anak selama 1 jam sehari
- menjaga konten yang bisa diakses hanyalah seputar konten yang bermanfaat
- dll
Kami sebagaimana seluruh keluarga pada umumnya masih terus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Semoga kita semua bisa memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya dan terhindar dari berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh teknologi tersebut. Biarkan teknologi tetap menjadi alat di mana kita sebagai pengendali, bukan sebaliknya.
Anda punya saran tambahan untuk kami praktikan? Yuk, bagikan di kolom komentar, ya! Terimakasih banyak sebelumnya.
Jadi ingat hape pertama saya merknya siemens berwarna merah. Kalau sekarang sih saya makainya hape xiaomi. Pengen beli yang mahal kok ya sayang uangnya. Heu
BalasHapusHihihi.. Asal sdh bisa memenuhi kebutuhan ya ga perlu hrs yg mahal ya :)
HapusPernah pakai samsung ada antena, motorola, nokia, blackberry, samsung tab ama oppo sekarang 😀
BalasHapusHehehe.. Samsung dulu sempat ada antena jg ya ternyata :)
HapusTeringat Nokia cetar banget ya dulu sampai jadi henpon sejuta umat..
BalasHapusHahaha iya. Dulu idaman bgt ya nokia :)
HapusSudah ngga pakai telepon rumah sejak 2008, pertama kali punya handphone tahun 2000. Makin ke sini, ortu juga paham pakai WhatsApp dan video call. Semakin memudahkan komunikasi.
BalasHapusBetul. Dulu pasang telp rmh cuma buat speedy aja :)
HapusHape jaman dulu cuman bisa dengar suara aja. Baterainya gak cepat panas
BalasHapusKalau sekarang, bisa video call. Baterai hp juga cepat panas karena sering dipakai main
Iya betul bgt. Kasian ya hp jmn sekarang kerja keras :)
Hapus