Dalam keseharian kita, pasti kita pernah ya bertemu dengan orang-orang yang biasa dianggap lemah di tengah masyarakat kita. Entah itu karena lemah ekonominya, lemah fisiknya dll. Dan karena kehidupan ini harus terus berjalan, tak ayal mereka yang lemah pun harus tetap ikut berjuang melangsungkan hari-harinya agar tetap bisa makan, belajar dan bekerja.
Bagaimana reaksimu jika bertemu mereka? Kasihan? Maafkan jika aku mungkin seperti tidak peka. Karena perasaan yang mendominasi dalam hatiku jika melihat mereka bukanlah rasa kasihan.
Karena aku tidak menganggap mereka sebagai orang lemah yang patut dikasihani. Justru mereka tampak kuat di mataku. Dengan keterbatasannya, mereka tetap berani menantang dunia.
Dengan segala kebulatan tekad mereka untuk terus menjalani hidup, aku yakin bukanlah rasa kasihan yang mereka harapkan. Karenanya, sebagai apresiasi, aku tidak akan menatap kasihan jika bertemu mereka. Aku akan tersenyum bangga pada mereka.
Sejak kecil, aku punya beberapa teman yang termasuk kaum lemah di mata masyarakat. Aku pernah punya tetangga tukang becak, nenek tua penjual samiler atau pun anak-anak yang kesehariannya hidup mandiri karena kedua orangtuanya harus pergi bekerja. Dan aku tidak pernah membaca keinginan untuk dikasihani dalam raut wajah mereka.
Beberapa teman sekolahku ada yang bekerja membantu orangtuanya sepulang sekolah. Ada pula yang sering terlambat masuk karena sebelumnya harus mengantarkan koran ke rumah para pelanggan. Dan mereka semua menjalaninya dengan riang gembira.
Tak ada rona payah dalam air mukanya. Mereka bahkan bersemangat untuk saling bantu dan bertukar informasi jika ada lowongan pekerjaan yang bisa dikerjakan anak-anak. Mereka tidak bersedih jika tidak membawa hasil. Paling-paling tidak jajan atau berpuasa sehari lagi. Mereka tidak gundah berkepanjangan jika belum melunasi biaya sekolah. Dengan bekerja lebih keras, mereka yakin suatu hari bisa mengumpulkan cukup dana untuk menutupinya.
Jadi, bagaimana aku bisa kasihan kepada mereka?
Akhirnya, Ada Juga yang Menitipkan Sebutir Airmata
Namun, seiring bertambahnya usia, ternyata ada saatnya aku seperti manusia kebanyakan. Menangis melihat keadaan mereka. Entahlah. Mungkin karena semakin bisa menangkap bagaimana perihnya orangtua mengais rezeki, ya?
Saat itu aku duduk di bangku SMU. Aku memiliki teman sekelas yang akrab karena kami tinggal di daerah yang searah. Jika sedang sama-sama tidak ada kegiatan usai sekolah, kadang kami pulang bersama bergonta-ganti angkutan kota sebanyak 3 kali.
Suatu hari, ia mengajakku menemui bapaknya sepulang sekolah.
"Di mana kantornya?" tanyaku.
"Di apotek depan SMP-ku," jawabnya. Dia adalah lulusan SMP terfavorit di kota ini. Letak SMP itu tidak jauh dari SMU kami.
"Memangnya tidak mengganggu pekerjaan bapakmu? O, iya. Ini masih jam istirahat makan siang, ya?" Agak ragu juga aku memenuhi ajakannya.
"Sudahlah, aku sudah biasa mampir ke sana. Nggak papa, kok," ia meyakinkanku sambil menarik tanganku untuk mengikutinya.
Selama berjalan kaki, aku menebak-nebak apa pekerjaan bapak temanku ini. Apoteker atau asistennya? Asyik sekali ya, bisa bebas menerima anaknya berkunjung saat bekerja.
Dan begitu kami sampai di depan apotek tersebut, tampak seorang lelaki tua berbusana kasual menyambut kami dengan gembira. Ah, iya. Temanku ini kan kakak-kakaknya sudah bekerja semua. Bahkan sudah ada yang menikah dan memiliki anak. Jarak usia temanku dengan kakaknya yang terakhir terpaut cukup jauh. Jadi, wajar saja jika bapaknya sudah setua ini.
Setelah berkenalan, bapaknya langsung mempersilakan kami duduk di kafetaria yang terdapat di halaman apotek. Dengan antusias, Beliau menawariku makan dan minum. Tadinya sih, aku mau memilih makanan berat. Tapi melihat temanku hanya meminta camilan padahal aku tahu dia belum makan siang, maka aku pun melakukan hal yang sama.
Agak bingung juga, mengapa temanku ini tidak sekalian minta ditraktir makan siang ya, sama bapaknya? Kan lumayan, menghemat uang saku? Hehehe...
Sambil menunggu pesanan disiapkan, aku agak resah juga melihat ayahnya masih saja di luar. Para pegawai apotek tampak tetap sibuk bekerja. Mengapa bapaknya tidak masuk dulu untuk melanjutkan pekerjaannya di apotek? Apakah Beliau sengaja meninggalkannya semata untuk menemani dan mengawasi kami? Duh, jadi merasa bersalah deh, kalau sampai mengganggu pekerjaan orang.
"Mar, bapakmu nggak masuk dulu apa? Masa pekerjaannya di apotek ditinggal?" tanyaku sambil berbisik.
"Ah, nggak papa, kok. Nanti juga kalau waktunya kerja bakal kerja," jawab temanku santai.
"Apaan, sih? Maksudnya nunggu panggilan, gitu?" tanyaku.
"Ho oh," jawab temanku sekenanya, "Eh, itu pesanan kita sudah siap. Waktunya makan!"
Melihat pelayan membawa nampan berisi pesanan kami, tampak bapaknya tergopoh-gopoh menghampiri dan membantu menyajikan di meja, "Ayo ayo dimakan, Nak Farida."
Belum sempat aku menjawab, ibu pelayan memberi isyarat ke bapak temanku sambil matanya menunjuk ke luar.
"Eh, sebentar ya. saya tinggal dulu. Ayo makan yang enak. Kalau kurang pesan lagi, ya." kata Beliau sambil berlarian menghampiri sebuah mobil. Setelah berbincang sebentar dengan pengendaranya, tampak pengendara itu pamit dan bapak temanku membantu mengarahkan mobil tersebut keluar.
"Duh, santai sekali ya, pekerjaan bapak temanku ini. Bisa nongkrong-nongkrong di luar, bisa bebas menerima tamu, bisa ngobrol-ngobrol santai sama teman sekantor..." pikirku sambil menyeruput jus alpukat.
Tak lama, datang mobil lain yang akan memasuki halaman apotek. Kembali dengan ramahnya, bapak temanku ini membantu menemukan tempat yang nyaman untuk berhenti. Aih, baik sekali ya.
Setelah kejadian serupa lagi-lagi terulang, baru aku menyadari bahwa ada yang perlu direkonstruksi dengan isi otakku. Sepertinya... Sepertinya... Bapaknya temanku ini... tukang parkir, ya? Deg!
Sontak aku langsung tidak enak hati memakan makananku. Bisa-bisanya aku minta ditraktir di kafetaria begini. Huhuhu...
Menjadi anak tukang parkir, bagaimana ya rasanya? Duh, aku tak sanggup membayangkan. Walaupun ayahku juga mungkin dipandang orang hanya seorang sopir lyn, namun kondisinya sangat berbeda.
Setidaknya, ayahku memiliki kendaraannya sendiri. Beliau memulai dari membeli mobil baru. Jadi, kondisi perekonomian kami bisa disejajarkan dengan keluarga yang bermobil. Bahkan mobil ayahku lebih mahal karena trayeknya juga bernilai rupiah.
Aku tidak perlu merasa rendah karena pekerjaan ayahku. Walaupun salah satu kerabat yang datang ke rumah pernah mencibir. "Jadi, kalian disekolahkan itu pakai uang receh begini? Hahaha..." ejeknya sambil memainkan tumpukan receh yang baru dikeluarkan ayah dari mobil sepulang bekerja.
Kakakku masih sakit hatinya hingga sekarang setiap mengingat kata-kata tersebut. Namun tidak denganku. Bagiku, pekerjaan ayahku bukanlah sebuah kehinaan, melainkan justru sebuah keistimewaan.
Ya, saat itu tarif lyn hingga tujuan terjauh pun tidak sampai 500 rupiah. Ya, Ayah selalu pulang ke rumah dengan membawa banyak recehan. Ya, dengan recehan itulah kami makan, sekolah dan membayar berbagai biaya hidup. Dan ayahku telah meraih hasil yang lebih baik dari yang berkomentar. Karena bisa mengantarkan anak-anaknya bersekolah di sekolah favorit, dengan recehan. Bahkan kerja kerasnya masih berlangsung hingga di usia senjanya kini.
Baca juga: Jadi Bisa Menjalani LDM di Usia Senja
Baca juga: Jadi Bisa Menjalani LDM di Usia Senja
Tapi, kalau tukang parkir? Berapa ya, penghasilannya? Dan menempuh jarak sejauh 3 kali lyn, apa sisanya masih cukup untuk hidup? Hmm, entahlah. Mungkin karena faktanya dekat sekali denganku. Sehingga memikirkannya membuat mataku buram oleh genangan air di mata.
Pasti berat ya, menjadi anak tukang parkir. Dan temanku ini harus menjalaninya langsung di hadapan teman-temannya. Teman-teman SMP dan SMU yang kebanyakan anak dari keluarga kelas ekonomi menengah ke atas.
Terdengar kasak-kusuk di belakangku antara temanku dan bapaknya. "Ini buat pulang nanti, ya," kata Sang Bapak. Aku makin tersentak.
Jangan-jangan, temanku ini tadi berangkat tanpa membawa uang saku penuh, ya? Sehingga dia harus menunggu bapaknya bekerja dulu agar bisa mendapat uang untuk pulang? Duh, aku juga tidak ingat apakah waktu istirahat tadi temanku masih bisa membeli jajan di kantin? Pantas tadi dia hanya memesan gorengan. Rupanya dia dalam kondisi prihatin.
"Lho, kok belum habis risolesnya? Tidak suka, ya? Mau pesan yang lain?" tiba-tiba Sang Bapak mengagetkanku.
"Oh, eh... enggak, kok. Ini sudah enak. Eh, iya iya... Nanti saya habiskan." Aduh, aku bingung. Sungguh, makan sambil menahan airmata itu tidak mudah, Kawan.
"Saya sering diceritai tentang Nak Farida, lho." kata Sang Bapak berusaha mencairkan suasana.
"Oya, Pak? Cerita apa?" tanyaku.
"Ya yang bagus-bagus, kok." kata Beliau. Terasa sekali bapak ini sangat menyayangi temanku. Dan sebagai temannya, aku jadi kecipratan diperlakukan dengan baik.
Sepulangnya, aku lebih banyak diam. Hal ini ditangkap oleh temanku, "Kamu kenapa kok diam terus dari tadi? Sedang mikir apa?"
"Mmm... enggak. Aku cuma berpikir, sebaiknya kamu suatu saat main ke rumahku. Agar ayahku juga bisa menraktirmu," jawabku.
"Oke, setuju!" temanku menyambut penuh semangat.
Sebuah pengalaman yang sempat menyelipkan haru dan airmata. Namun sesudah hari itu, kembali mengembangkan senyum bangga setiap aku menatap temanku yang satu ini. Seorang teman yang kini telah menjadi dokter, hasil kerja keras bapaknya yang tukang parkir.
terharu banget mbak bacanya. jadi inget juga sama bapakku sendiri.
BalasHapussalam hormat untuk bapakmu :)
HapusBapakku aja lulusan STM tapi dengan mamahku yang lulusan SMEA bisa mengkuliahkan aku jadi apoteker, adik-adikku jadi sarjana teknik, didikan dan karena gaji pns mamah dan bapaklah aku bisa berhasil sekarang, ortu itu memang luar biasa baik bapak ataupun ibu ya
BalasHapusbetul sekali. keduanya berperan besar dlm hidup kita :)
HapusBapakku aja lulusan STM tapi dengan mamahku yang lulusan SMEA bisa mengkuliahkan aku jadi apoteker, adik-adikku jadi sarjana teknik, didikan dan karena gaji pns mamah dan bapaklah aku bisa berhasil sekarang, ortu itu memang luar biasa baik bapak ataupun ibu ya
BalasHapusGa kerasa netes airmata bacanya,, orangtua saya juga punya profesi yg sama tapi dia dg gigih bsa meluluskan saya sampe kuliah,, dan kadang saya pernah ikut pergi bekerja dg ayah,, saya tau lelahnya,, tpi d rumah ayah terlihat santai sekali,, tidak ada keluh kesah,,
BalasHapusmasyaallah, moga bapak sehat selalu :)
HapusIkut terbawa sedih baca artikel ini.
BalasHapusLangsung teringat alm.papaku.
Semakin kita dewasa semakin sadar betapa besar perjuangan orang tua membesarkan kita
benar sekali. semoga bapak mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya ya :)
HapusAmin, terimakasih doanya ya,kak.
HapusAku salut sama kepribadian teman2 kakak yang ngga pernah terlihat sedih atas kekurangan yang dihadapi keluarganya.
Tetap terlihat ceria menjalani hidup.
Itu bisa buat contoh siapapun ...
Hidup dengan keterbatasan kondisi, tak boleh lalu jadi minder atau merasa penuh penderitaan.
Hidup harus dijalani dengan senang dan semangat.
Setuju!
Hapusgak apa2. aku suak dg orang yang berjuang buat hdpnya drpd mengemis dan suak abnget dg anak yang gak malu terhadap pekerjaan irtunya
BalasHapusbetul banget. menurutku itu hebat, bukan kasihan :)
HapusSetuju. Sebetulnya banyak ayah yang juga sayang banget sama anaknya. Hanya seringkali cara memberikan kasih sayangnya berbeda dengan ibu
BalasHapusbetul sekali. sebenarnya, perannya pun susah untuk digantikan ibu :)
HapusTerharu bacanya, tapi aku sekarang gak tinggal sama ayahku, karena ibu dan ayahku udah cerai saat aku masih SD karena sesuatu. Kadang kangen masa kecil sih dulu sering jalan-jalan bareng.
BalasHapusmoga ayahnya sehat2 saja ya
Hapus