"Halo, apa kabar? Eh, kamu jangan ngetawain saya, ya. Ini karena saya mengikuti anjuran untuk melaksanakan physical distancing," sapa psikiater sambil tertawa, saat dua hari lalu aku mengantarkan si Sulung berkonsultasi sesuai jadwalnya.
Maklum, baru kali ini kami melihat Bu Dokter mengenakan pakaian APD. Antara meja Beliau dan kursi pasien yang menghadapnya pun terdapat jarak dengan tanda silang di lantai. Tanda tidak boleh terlalu dekat mengobrolnya.
Physical distancing alias pembatasan jarak fisik bukan hanya diterapkan dalam ruang dokter. Di ruang tunggu pun, tampak kursi-kursi yang dihiasi dengan silang selotip besar berwarna merah atau kuning sehingga tidak bisa diduduki. Setiap kursi akan berseling dua kursi yang disilang dengan kursi lain yang bisa dipakai.
Dampak Physicial Distancing
Walau kami sudah menerapkan 5 Cara Menangkal Perundungan, namun tetap saja ada satu hal yang terlambat terpenuhi, yaitu peran orangtua. Kehadiran kami kurang berdampak sejak awal si Sulung mengalami perundungan ini.
Ia cenderung menutup-nutupi apa yang dialaminya, dan kami kurang jeli menggali situasi. Kami masih saja menganggapnya kuat dan mampu mengatasi semuanya, sendiri. Padahal, ia masih juga anak-anak saat itu.
Sebenarnya, penerapan physical distancing ini cukup membantu bagi si Sulung untuk kembali beradaptasi pelan-pelan dengan keramaian. Kondisi yang tidak terlalu berdesakan dengan orang asing membuatnya lebih nyaman, walau tidak sepenuhnya nyaman.
Sayangnya, hal ini tidak bisa berlangsung terlalu lama. Entah mengapa, hari itu pasien poli jiwa bisa tiga kali lipat lebih banyak dari biasanya. Hampir dua jam kami menunggu giliran untuk dipanggil. Si Sulung memang pasien terakhir hari itu.
Begitu telah melewati jam pertama, dia mulai gelisah. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai cukup keras, badannya bergoyang-goyang, dan akhirnya memilih untuk berjalan mondar-mandir tak menentu. Mengajaknya ke kantin sebentar ternyata tak cukup ampuh membunuh kecemasannya di antara orang asing.
Padahal, ia sudah berjarak satu meter dengan orang-orang di sekitarnya. Bahkan, termasuk denganku juga. Aku tidak bisa duduk mendampinginya karena tidak ada kursi bersebelahan yang disediakan. Saking gelisahnya, ia sampai sempat menghentak agak keras badannya saat duduk di kursi, hingga mengagetkan ibu tua yang tidur bersandar di belakang kursi si Sulung. Maaf ya, Bu.
"Bagaimana? Enak, ya. Bisa ketemu Abi setiap hari. Pas kamu ingin berhenti masuk sekolah, eh, malah semua disuruh belajar di rumah. Jadinya, kamu bisa lebih nyaman kan, belajarnya sekarang," kata Bu Dokter dengan riang.
"Ya, tapi lama-lama bosan juga, sih. Aku ingin kembali ke sekolah lagi jadinya. Ketemu dengan teman-teman," jawab si Sulung tanpa disangka. Memang, pada dasarnya, si Sulung adalah seorang ekstrovert yang selalu ingin memiliki banyak teman.
"Iya, semua juga bosan kok, dengan situasi begini. Tapi, bosannya kan, bareng-bareng, ya. Jadi, sabar saja," sahut psikiater tetap dengan senyumnya.
Yah, yang biasa cemas saat bertemu orang asing saja sudah ingin kembali bertemu orang-orang. Apa lagi, orang-orang yang normal, ya? Pasti banyak orang, tempat, serta suasana yang dirindukannya dan ingin segera semua kembali seperti sedia kala, sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Baca juga: Apakah Covid-19 Itu?
Arti Physical Distancing
Bagaimana pun, physical distancing memang merupakan salah satu dari 5 Titik Sederhana Mencegah Virus Corona yang perlu dijalani. Istilah physical distancing ini digunakan WHO untuk menggantikan kata social distancing agar lebih sesuai dengan fakta yang dimaksud.
Karena sejatinya, memang hanya fisik kita yang dianjurkan untuk berjarak. Sedangkan aktivitas sosial, sebaiknya tetap dijalin dengan fasilitas yang mendukung, misalnya: ponsel, laptop, internet, dll.
Physical distancing ini diterapkan dengan setidaknya 4 cara, yaitu:
- Jangan keluar rumah kecuali untuk urusan yang sangat penting
- Jaga jarak dengan orang lain setidaknya satu meter
- Hindari kontak fisik secara langsung
- Jauhi kerumunan, dll.
Jadi, tetap taati anjuran physical distancing ini demi kebaikan bersama, ya. Semoga, terjangan Covid-19 ini semakin melemah dengan meningkatnya kesadaran kita untuk tetap menjaga kebersihan, kesehatan, dan kontak fisik. Amin.
Wah, putera mbak pernah kena bullying ya? Duh, turut prihatin 😑😑 Memang butuh waktu yg ga sedikit ya untuk beradaptasi kembali. Dengan adanya jaga jarak seperti sekarang, sang anak jadi kangen sekolah. Semoga ke depannya kondisi fisik dan mentalnya membaik dan bisa memiliki teman2 terbaiknya aamiin.
BalasHapusMemang sudah memasuki 2 bulan #dirumahaja ini pengen kayang, salto, trus guling-guling ya mba. Saya kemarin-kemarin sudah sangat jenuh. Tapi mendadak tadi pagi diinfokan grup WA RT bahwa salah satu warga kami terkena COvid-19 dan itu rumahnya tepat di belakang rumah saya. Saya langsung istighfar dan menyesal karena mengumpat bosan di rumah. Padahal, kami sekelurga sudah diberikan kesehatan sama Allah.
BalasHapusYa ampun, bullying memang jahat ya mbak...
BalasHapusSemoga nanti kalau kembali ke sekolah tidak ada yg membully lagi
Udah physical distancing pun jumlah pasien terus bertambah
BalasHapusApalagi kalo ngga
Tapo emang terkendala budaya ya?
Semoga putri sulungnya segera bisa pulih kondisi psikisnya ya mbak, bisa tenang lagi di keramaian bersama orang-orang asing.
BalasHapusEh, bukannya anak-anak dulu HS ya mbak?
iya, dulu HS. mulai tahun ajaran ini masuk sekolah
HapusKasus bullying itu kejahatan yang dikemas dalam humor, sehingga banyak orang tak menyadari nya.
BalasHapusSemoga anak bunda senantiasa dijaga oleh Allah SWT dan diberikan ketabahan dalam menghadapi semua ini.
Insyaallah semua orang hebat pasti mengalami bullying, bahkan seorang nabi sekalipun.
Duh, bullying ini. Semoga si kakak pulih sepenuhnya ya. Btw, gimana dengan oara pelaku bullying-nya? Mereka ditangani seperti apakah? Ngeri kalo nggak ditangani trus terbawa terus sampai mereka dewasa :(
BalasHapusbegitulah. susah sih, kalau para orang tuanya menganggap itu hal biasa
HapusWah ternyata si sulung kangen juga bertemu teman-temannya ya mbak, padahal sebelumnya pengen di rumah aja. Tapi sekarang udah nggak trauma lagi kah dengan bullyian masa lalu?
BalasHapusmasih, sih. tapi insyaallah lebih bisa mengatasi daripada sebelumnya
HapusInsyaallah kita sebagai mukmin senantiasa mengambil hikmah dr setiap peristiwa ya kak... masa physical distancing gini membawa sisi positif bagi si sulung. Semoga sehat selalu kak Farida
BalasHapusIkut prihantin dengan putri Mbak Farida, semoga lekas pulih seperti sedia kala ya Mbak. Syukurlah meskipun kondisi social distancing gini namun Si Sulung justru rindu bertemu teman-teman, artinya masih ada keinginan kuat untuk bersosialisasi. Semoga traumanya lekas hilang :)
BalasHapusTetap semangat untuk putrinya mbak Farida.Btw ini putri yang waktu itu pernah diceritakan di blog dan ternyata menang TOBP bukan ya. Penasaran 😀
BalasHapusartikel yang judulnya "Because I am A Girl", ya?
HapusSepertinya aku tidak khusus menceritakan tentang satu putriku. Itu umum untuk setiap anak perempuan. hehehe...
Terima kasih lho, masih inget aja
Betul, Mbak...saya yang biasa di rumah aja merasa bosan gimana yang biasa keluar dan beraktivitas di luar setiap harinya. Tapi, akhirnya mulai menikmati dan mensyukuri. Pandemi ini bikin saya banyak mikir. Allah tahu apa yang paling bai buat kita :)
BalasHapus