Onde mande! Ini telat banget ya, ulasan. Menontonnya sudah lebih dari sebulan lalu. Banyak yang minta ulasan film ini, tetapi baru jadi sekarang. Lupa? Enggak juga, sih. Lebih karena masih mengerjakan yang lain. Begitu sempat, langsung deh, mengebut.
Mengingat Kembali Indahnya Ranah Minang
Sangat menarik membahas film bermuatan lokal begini. Kita diingatkan lagi dengan fakta-fakta yang terlupa tentang suatu daerah. Kalau di film ini, budaya yang dimaksud adalah budaya Minang dengan mengambil lokasi di sekitar Danau Maninjau, mengingatkanku pada emak blogger satu ini.
Film Onde Mande benar-benar memukau dengan keindahan budaya Minang. Perkampungan yang lekat dan asri, pemilihan nada warna yang sederhana, latar dan kostum pemain yang senada, serta latar musik nan rancak membuatnya menyenangkan untuk ditonton. Sinematografi yang menakjubkan memanjakan mata. Film ini juga memperlihatkan sejumlah kuliner khas Minangkabau yang menggoda, seperti teh talua, gulai pakis, dan salalawak.
Paul Agusta, produser, sutradara, dan penulis film Onde Mande, mengabdikan karyanya ini sebagai penghormatan kepada almarhum sang Ayah. Paul adalah anak dari penyair bernama Leon Agusta, yang tumbuh dalam keluarga Minang yang sangat kental.
Alur
Film dibuka dengan pemandangan Danau Maninjau yang dikelilingi bukit, menunjukkan di mana lokasi cerita ini, yaitu Desa Sigiran, berada. Sigiran digambarkan masih melestarikan budaya Minang, seperti anak-anak yang bermain alat musik tradisional dan berlatih silat. Demikian pula para warga di dalamnya. Salah satunya adalah Angku Wan (Musa Dahrizal) yang diperkenalkan melalui narator.
Film ini beralur lambat karena lebih banyak menceritakan koordinasi dan interaksi warga desa. Mereka menghadapi situasi tak terduga padahal penting bagi desanya. Alur lambat begini justru sangat membantu memperkenalkan budaya Minang dengan lebih dekat dan mendalam.
Alur cerita yang ringan membuat film ini mudah mengambil hati penonton. Komedi-komedi khas Minang berhasil membuat penonton tertawa, meskipun bukan orang Minang. "Onde Mande!" dengan cerdas meramu detail-detail kecil sehingga menciptakan adegan khas Minangkabau dengan cukup akurat. Drama dan komedi dalam film ini disajikan dengan seimbang.
Plot twist yang dihadirkan membuat film ini semakin keren. Meskipun aku sudah menduga sejak sang tokoh muncul, tetapi perjalanannya tetap sangat menarik diikuti karena latar belakangnya yang cukup emosional.
Film berakhir dengan monolog dari Emir Mahira. Meskipun ini bagian terbaiknya, tetapi aku pribadi merasa kurang puas, seolah menuntut ada satu scene lagi yang menunjukkan kepahlawanan warga Sigiran dalam mengurai segala kemelut yang terjadi.
Akan tetapi, mungkin memang hanya inilah yang ingin ditunjukkan sang sutradara. Sebuah penutup yang baru bagiku, sebenarnya, dan cukup inspiratif. Toh, para penonton sesungguhnya juga sudah bisa menebak kok, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Penokohan
Karakter-karakter dalam film begitu kuat dan melekat. Penonton akan teringat tabiat dan kelakuan orang Minang di sekitarnya yang mungkin mirip dengan Ni Ta yang oportunis dan banyak akal, Haji Ilyas yang teguh pendirian, serta anak-anak muda yang penurut banget.
Pembagian peran di antara tokoh-tokoh sangat pas dan semuanya memiliki karakter berbeda yang menonjol. Sebagian penonton mungkin bahkan bingung, sebenarnya siapa tokoh utama dalam film ini. Ini bagus banget sih, untuk memperkuat kesan kebersamaan.
Akting
Para pemain berhasil memainkan karakter Minangkabau yang pas dan enggak berlebihan. Meskipun hampir seluruh pemain utama bukanlah penutur aktif bahasa Minang, tetapi Jajang C. Noer dan Shenina Cinnamon berhasil menyampaikan bahasa Minang dengan fasih dan logat yang kental. Aksi dan reaksi yang diperankan sangat natural, khususnya Emir Mahira yang menjadi pusat perhatian di akhir cerita.
Statemen
Selain soal pengenalan tokoh di awal cerita melalui narasi yang menurutku kurang visual, bagian statemen dalam film "Onde Mande!" juga merupakan hal yang cukup mengganjal buatku. Apa sih, statemen yang ingin disampaikan film ini?
Di awal cerita, disebutkan bahwa aneka tabiat orang Minang yang sering disalahartikan pihak lain itu semata karena kecintaan pada keluarga dan kampung. Hal ini diperkuat dengan penuturan berkali-kali oleh Ni Ta yang menyampaikan bahwa niat elok akan membawa kita kepada kebaikan, meski serumit apa pun usaha yang harus dilakukan. Di akhir cerita, statemen ini kembali dikuatkan dengan hadirnya bukti yang nyata atas prinsip ini.
Terus terang, aku agak terganggu dengan kesan seolah niat baik itu boleh menghalalkan segala cara. Ya, aku seperti Haji Ilyas yang mengharuskan niat baik dijalani dengan cara yang benar pula. Aku sangat antusias mengikuti alur ceritanya sejak narasi pembuka dibacakan karena ingin mematahkan sendiri stigma negatif di kepala.
Sayangnya, justru statemen tersebut malah diperkuat hingga akhir cerita, memang demikianlah adanya orang Minang. Walau sudah dijabarkan segala motif, alasan, dan usaha mereka, aku tetap aja enggak setuju. Ha ha ha ....
Mungkin, kalau pemeran Ni Ta itu sekalem Ratna Karya Riantiarno, misalnya, aku bisa lebih bersimpati dan memaklumi segala keputusan para warga Sigiran ini. Namun, ini memang pendapat yang personal banget, ya. Enggak mengurangi sedikit pun kualitas filmnya. Buktinya, film ini hadir dalam Far East Film Festival (FEFF) 2023 di Udine, Italia, mewakili Asia dalam kategori Far East in Progress.
Tertarik menonton? Sayang, aku enggak tahu saat ini bisa ditonton di mana. Atau, kamu sudah menonton film "Onde Mande!"?
Aku selalu tertarik dengan film yang menyajikan gambar-gambar indah terutama lanskap pemandangan yang memukau. Apalagi ini di ranah minang yang udah dari dulu masuk wishlist aku...
BalasHapusWah film yang mengangkat kebudayaan dari Minang ya mbak
BalasHapusPasti bagus, apalagi bisa melihat berbagai pemandangan indah
Bagus ini mengangkat kebudayaan, biar makin mengenal lagi khususnya buat generasi muda. Btw ini film tahun berapa kak?
BalasHapusbaru tayang bulan lalu, say
HapusCari ah, saya pun jadi pingin nonton
BalasHapusSaya paling suka film/drama yang mengangkat budaya lokal seperti ini
Bahkan kalo bisa sebanyak mungkin
karena lelah lihat sinetron Indonesia yang berkutat dengan tema sama
Atau jangan2 tema itulah yang disukai penonton Indonesia :D
Kalau saya tuh, ketika nonton sebuah film, hal pertama yang paling berhasil didengar dari logatnya :D
BalasHapusDan jujur, sangat jarang ada film yang menampilkan artis dengan logat daerah yang kental, kecuali emang dari sono langsung.
Jadi pengen nonton film Onde mande ini, meskipun juga saya nggak bakal tahu apakah logatnya udah pas :D
Banyak film sekarang yang menganggat budaya daerah, selain java centris. Sayangnya untuk film yang mengangkat budaya, aku itu lebih tertarik yang dikemas juga dengan komedi supaya filmnya gak terlalu serius. Hehehe
BalasHapus