Lagi musim penerimaan rapor, nih. Berhubung anak kami yang saat ini bersekolah ada enam, jadinya jadwal padat banget buat mengambil rapor. Mulai dari Jumat, Sabtu, Ahad, sampai Senin ini. Teman-teman juga sudah mendapatkan laporan penilaian anak semester ini? Bagaimana hasilnya?
Membaca artikel parenting tentang pendidikan karakter di Rani R. Tyas's Journal, aku jadi tertarik menghubungkan momen pengambilan rapor ini dengan pendidikan karakter bagi anak tersebut.
Penerimaan rapor bukan sekadar momen untuk melihat angka-angka hasil belajar anak. Lebih dari itu, ini adalah kesempatan emas bagi orang tua, guru, dan siswa untuk merefleksikan proses belajar-mengajar yang telah berlangsung selama satu semester. Namun, seberapa sering kita melihat penerimaan rapor dari perspektif pendidikan karakter?
Rapor Bukan Hanya Tentang Nilai Akademis
Sering kali, fokus utama penerimaan rapor adalah angka dan peringkat. Padahal, setiap angka dalam rapor hanyalah sebagian kecil dari gambaran keseluruhan pendidikan seorang anak. Pendidikan karakter, seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan rasa empati, tidak selalu dapat tercermin dalam angka.
Orang tua dan guru sebaiknya menggunakan momen ini untuk berdialog dengan anak tentang pengalaman belajar, tantangan yang dihadapi, dan bagaimana mereka tumbuh sebagai individu. Prestasi akademis memang penting, tetapi membentuk karakter yang kuat adalah investasi jangka panjang yang jauh lebih berharga.
Mengapresiasi Usaha, Bukan Hanya Hasil
Setiap anak memiliki perjalanan belajar yang unik. Ada yang unggul di bidang akademis, ada yang menonjol di bidang olahraga atau seni, dan ada pula yang memiliki keterampilan sosial yang luar biasa. Momen penerimaan rapor seharusnya menjadi ajang untuk mengapresiasi usaha dan kerja keras anak, bukan sekadar menilai hasil akhirnya.
Pujian yang tulus atas usaha anak dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka. Misalnya, daripada berkata "Kamu harus dapat nilai 100 di Matematika," lebih baik katakan, "Ibu/Bapak bangga melihat kamu berusaha keras belajar Matematika, meskipun itu bukan pelajaran favoritmu."
Peran Guru dan Orang Tua dalam Pendidikan Karakter
Guru dan orang tua memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak. Rapor bisa menjadi alat refleksi bagi orang tua untuk memahami bagaimana anak mereka berkembang di sekolah. Tidak hanya secara akademis, tetapi juga emosional dan sosial.
Sekolah juga seharusnya memberikan catatan khusus mengenai sikap dan karakter anak selama di kelas. Apakah mereka bekerja sama dengan baik? Apakah mereka menunjukkan rasa hormat kepada teman dan guru? Apakah mereka bertanggung jawab atas tugas-tugasnya?
Menggunakan Rapor sebagai Alat Komunikasi
Alih-alih menjadikan rapor sebagai sumber tekanan, jadikanlah rapor sebagai alat komunikasi yang positif. Orang tua bisa bertanya, "Bagian mana yang menurutmu paling menantang?" atau "Apa yang ingin kamu tingkatkan di semester depan?"
Dengan pendekatan ini, anak akan merasa lebih nyaman dan termotivasi untuk terus belajar dan berkembang. Fokus pada solusi, bukan hanya kritik, akan membantu membangun hubungan yang lebih sehat antara orang tua dan anak.
Pendidikan Karakter di Luar Rapor
Pendidikan karakter tidak berhenti di sekolah atau pada lembaran rapor. Nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab, dan kejujuran perlu ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Orang tua bisa menjadi teladan terbaik dengan menunjukkan nilai-nilai ini dalam tindakan nyata.
Misalnya, ketika orang tua berjanji akan menemani anak belajar atau bermain tetapi kemudian membatalkannya, hal ini bisa merusak nilai kepercayaan yang sedang dibangun.
Kesimpulan
Penerimaan rapor bukanlah akhir dari proses belajar, melainkan titik refleksi untuk melangkah ke depan dengan lebih baik. Pendidikan karakter harus menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap proses pendidikan, baik di sekolah maupun di rumah.
Mari jadikan momen penerimaan rapor sebagai kesempatan untuk membangun komunikasi yang lebih baik dengan anak, memahami tantangan yang mereka hadapi, dan mendukung perkembangan karakter mereka agar siap menghadapi masa depan dengan bekal yang utuh: cerdas secara akademis dan kuat dalam karakter.
Setuju, rapor bisa jadi alat ukur tapi bukan satu2nya standar menilai kemampuan anak kita
BalasHapusCan't be more agree deh, semua yang diuraikan bener semua. Yuk mulai hargai proses selain juga hasil dalam hal report siswa.
BalasHapusSetuju jika sekarang ini nilai akademik tidak selalu jadi parameter kepintaran anak. Apalagi kalau akhlaknya minim, udah gak berharga meskipun pintar...
BalasHapusSaya termasuk yang ngajarin anak untuk belajar karena suka, bukan karena disuruh belajar atau ngincer nilai tinggi aja. Ketika belajar udh nggak lagi beban dan suka. Nilai akan ngikut jadi lebih bagus.
BalasHapusSuka nih sama tagline, "Cerdas dalam akademik, kuat dalam karakter". Kemarin di Kurikulum Merdeka kan sudah bagus ya sebenarnya, hanya saja ada yang komen kalau anaknya jadi rendah adabnya.
BalasHapusRasanya kok kasian sama Kurikulum Merdeka, padahal jaman kita kecil mungkin sebenarnya juga sama, adabnya belum setinggi adab orang dewasa. Siapapun sih sebnarnya masi terus belajar hingga ke liang lahat, hanya saja bedanya, orang-orang yang sudah lulus dari akademik mulai belajar tentang kehidupan.
Suwun ya Mbak Farida
Setuju banget dengan statement bahwa "Raport bukan hanya tentang nilai akademis". Setiap sekolah punya standarisasi masing-masing dan tidak bisa dipukul rata dengan sekolah lain karena sejatinya skala ukur dan kebijakan tiap sekolah pun berbeda-beda.
BalasHapusBTW, salut sama Mbak Farida yang bisa handle 6 anak dalam usia sekolah. MashaAllah saya dua aja sudah mumet Mbak hahahaha. Apalagi ini ada 6. Hebat sungguh mengatur waktu, pikiran, dan urusan finansialnya.
Setuju banget, ditambah "buku pesan" , aduh saya lupa namanya
BalasHapusSemacam buku yang dibawa murid untuk ditandatangani ortu setiap harinya
Isinya "pesan-pesan" guru pada hari itu, seperti anak gak buku, anak hasil ulangannya bagus dsb
Dan rapot menjadi puncaknya
Kagum loh dengan mbak Farida sekarang handle 6 putra-putri usia sekolah. Masih 2 lagi bukan? Semangaat Mbak. Alhamdulillah, saya pun sepakat bahwa "Raport bukan hanya tentang nilai akademis". Apalagi rapor sekarang kan beda ya dng zaman dulu. Zaman dulu kan angka doang, ada warna merah dan biru.
BalasHapusSekarang lebih ke media komunikasi proses belajar anak.
Rapor jadi media komunikasi ya, antara orangtua dan guru untuk melihat bagaimana perkembangan si anak. Kalau ada yang kurang, bisa ditingkatkan
BalasHapusSetuju sih, bahwa raport tak melulu sekedar nilai akademis semata tp juga jadi tolak ukur perkembangan karakteristik dari siswa itu sendiri
BalasHapusAku juga baru ambil raport adikku. Selama ini, prioritasku emang bukan nilainya. Lagian, nilai adikku tuh bagus kok. Jadi, wali kelasnya cuma bilang pertahankan.
BalasHapusTapi, soal olahraga favoritnya, kayak volly itu yang kusupport banget.
Meski kini ga ada sistem ranking seperti zaman aku dulu, tapi moment ambil raport ini selalu excited. Selain ngobrol mengenai sikap dan perilaku ananda di sekolah dalam berteman dan belajar juga sama-sama mencari solusi ketika ada yang dinilai belum berkembang.
BalasHapusAlhamdulillah,
Aku belajar banget dari tulisan ka Farida.
Karena reaksi pertama saat melihat nilai ini tentunya akan menjadi judgement ke anak yaa.. bisa jadi lalu reflek juga mengeluarkan kata-kata labelling.
Setuju bangett mba. Rapor tak melulu soal nilai dan gak harus jadi juara kelas. Tapi gak bisa dipungkiri saat ini masih ada orang tua yang sangat berambisi supaya anak harus jadi juara kelas bahkan sampai bikin anak depresi :((
BalasHapusSaya setuju bahwa pendidikan karakter bukan hanya tentang mengajarkan nilai-nilai moral, tetapi juga tentang membentuk pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
BalasHapusArtikel ini sangat menginspirasi, terutama dalam hal pentingnya integrasi pendidikan karakter sejak dini. Menanamkan nilai-nilai seperti empati, disiplin, dan kejujuran kepada anak-anak akan memberikan dampak positif yang besar dalam perkembangan mereka, baik secara pribadi maupun sosial. Saya juga sepakat bahwa pendidikan karakter harus melibatkan peran serta keluarga dan masyarakat, bukan hanya sekolah.
Penting juga untuk mengingat bahwa karakter yang baik bukanlah sesuatu yang terbentuk secara instan, melainkan melalui proses yang konsisten dan teladan dari orang dewasa. Artikel ini memberikan banyak wawasan tentang bagaimana kita sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat dapat bersama-sama berperan dalam pembentukan karakter anak-anak kita.
Dulu standar pinter kita klo bisa matematika ya
BalasHapus